Mandiri berarti tidak mengantungkan kepada orang lain, orang bisa dikatakan
mandiri jika sudah mampu menghidupi dirinya sendiri serta orang dekatnya (anak
dan istrinya). Jika belum mampu menghidupi dirinya sendiri, maka orang itu
disebut dengan miskin, orang miskin perlu mendapatkan perhatian, kendati
demikian, orang miskin juga tidak boleh mengantungkan kepada orang lain.
Sedangkan seseorang yang belum mampu mencukupi kebutuhanya, sedangkan tempat
tinggalnya juga tidak ada, orang itu disebut dengan fakir. Orang ini juga
termasuk kelompok yang memerlukan perhatian khusus, agar bisa melangsungkan
hidupnya.
Terkait dengan hidup mandiri, islam sangat menganjurkan pemeluknya agar
senantiasa hidup mandiri dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Orang dituntut
bekerja dengan mengunakan segala kemampuannya, seperti tenaga, intelektual,
serta jasanya, agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Begitulah
makna hadis yang tersirat, Nabi tidak hanya menganjurkan dengan tuturnya, akan
tetapi Nabi juga memberikan teladan bahwa beliau adalah seorang yang giat
berusaha dan bekerja demi memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Bahkan
beliau rela mengambil anak angkat (Haid bin Harisah), serta menikahi beberapa
wanita dengan tujuan mengentaskan kemiskinan. Dalam dunia usaha, seringkali
Nabi setiap pagi menengok kepasar dengan tujuan melihat kondisinya, serta
komoditas yang ada, serta transaksi yang dialkukan oleh sekelompok masyarakat
waktu itu. Kita mengenal beberapa ayat yang terakit dengan jual beli, timbang
menimbang barang, berniaga setelah selesai menunaikan sholat. Abu Bakar mempuyai
bedak (toko) rempah-rempah (bazzar), sedangkan Umar termasuk orang yang jarang
dirumah di pagi hari karena mesti bekerja dipasar untuk memenui kebutuhan rumah
tanganya, sedangkan Usman seorang pengusaha yang profesinal dan dermawan. Ali,
walaupun Miskin, beliau seorang pekerja keras, beliau terkenal dengan gudangnya
pengetahuan agama, akan tetapi materinya tidak sebanyak tiga sahabatnya.
Karakteristik para sahabat, mereka sangat dermawan terhadap masyarakat miskin,
fukoro’ dan kaum duafa’ lainya.
Ekonomi Dimasa Nabi™
Allah swt telah berfirman dalam sebuah ayat yang berbunyi ”Seseorang tidak
mendapatkan sesuatu kecuali apa yang telah di usahakannya”. (QS An-Najm )39).
Dalam dunia ekonomi, ayat ini sebagai ilham bahwa setiap usaha seseorang pasti
akan menghasilkan, semakin banyak bekerja dan usaha maka semakin banyak pula
pendapatnya. Ayat ini juga mengajak manusia untuk tidak berpangku tangan,
manusia mesti bekerja keras agar bisa mencukupi kebutuahan hidupnya
sehari-hari.
Jasa Tenaga
Hal ini juga ditegaskan dalam Qs An-Nisa (4) ayat 32, ”Bagi seseorang laki-laki
ada manfaat dari apa yang dia usahakan.”Alam memeng tak memisahkan lelaki dan
perempuan, hitam dan putih atau bahkan Muslim dan kafir dalam hal rezeki. Hukum
alam adalah siapa bekerja keras lebih keras dia mendapat balasan. Allah maha
pemberi, Allah tidak pernah membedakan antara maghluknya didalam urusan rizki,
kadang orang kafir lebih kaya, begitu pula sebaliknya.
Islam menjunjung tinggi etos kerja. Dalam beberapa literaur arab sering kita
dengar dengan “siapa yang sungguh-sungguh ia akan dapat” dan cita-cita seorang
lelaki yaitu bisa merobihkan gunung. Dalam sebuah ayat disebutkan agar manusia
berpencar di muka bumi setelah menunaikan sholat. Sedangkan ketika mendengar
suara adzan hendaknya segera pergi untuk menunaikan sholat. Nabi Muhammad SAW
adalah tokoh yang amat menjunjung tinggi etos kerja dan selalu menghargai karya
para pekerja dan ahli dalam bidang pekerjaan tertentu. Dan bahkan dalam sejarah
islam, semua nabi bekerja untuk kehidupannya. Ini untuk menunjukkan bahwa para
nabi bukan rabi atau pendeta yang dicukupi kehidupannya dari umatnya. Untuk
makan sehari-hari, para Nabi bekerja.
Ingat bagaimana kisah Musa AS yang bekerja pada Nabi Syuaib. Nabi Daud sebagai
pengrajin, Nabi Yusuf sebagi pengawas gudang, dan terutama Nabi Muhammad SAW
yang menjadi pedagang pada sebelum kenabian dan mengerjakan banyak pekerjaan
kasar lain setelah kenabian.
Para Nabi diperintahkan bekerja keras untuk memperoleh kehidupan yang baik.
Dibalik pesan itu pastilah ada misi bahwa betapapun mulia seorang nabi, mereka
harus tetap bekerja untuk memenuhi kehidupannya. Ini contoh terbaik bagi umat.
Dan Nabi Muhammad SAW dengan bangga menyatakan bahwa ia bekerja untuk
penghidupannya. Para nabi mewarisi etos kerja ayahnya. Fatimah az Zahra pernah
satu hari kehabisan gandum sementara anak-anaknya butuh makan dan sakit. Dia
pergi ke pemilik toko. Maka didapatnya pekerjaan menumbuk gandum untuk dibuat
roti dan dimakan bersama anaknya.
Jasa Intelektual
Fenomena saat ini berbeda dengan masa lalu, intelektual juga memilki harga yang
sangat tinggi dalam dunia islam. Dalam kisah Nabi Yusuf disebutkan bahwa nabi
Yusuf karena keahliannya maka dia diberi tugas sebagai pengawas gudang.
Kemudian pekerjaannya naik menjadi penasihat raja.
Islam mengajarkan efisiensi dan profesionalitas, serta kemampuan yang dimiliki,
wajar sekali kalau saat ini kita mengenal beraneka ragam konsultan; mulai
kesehatan, ekonomi, akutasi, pajak, dan banayak lai laianya. Islam menghargai
nilai inteletual.
Caontoh lain, Kisah Nabi Musa sebagaimana diceritakan dalam QS Al-Qashash (28)
ayat 26 “Salah Seorang dari kedua wanita (anak nabi syuaib) berkata: Wahai
Bapakku, ambillah ia sebagai pekerja kita, karena sesungguhnya orang yang
paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (dengan kita) adalah orang yang kuat
lagi dapat dipercaya.”
Bersifat fisik atau mengandalkan intelektualitas, kejujuran merupakan unsur
penting dalam bekerja. Bekerja juga harus indah dan rapi., Para pekerja juga
harus dibekali dengan pendidikan dan latihan, sebagaimana Islam amat
mementingkan mencari ilmu.
Soal upah
Setelah mengajarkan etos kerja, Islam juga mengajarkan panduan soal upah bagi
tenaga kerja. Dari Abu Dzar al Ghifari diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “mereka (budak budak dan pelayanmu ) adalah saudara kamu. Allah
menempatkan mereka di bawah pengawasan kamu, maka barang siapa menempatkan
saudaranya di bawah pengawasannya hendaklah ia memberinya makanan dari apa yang
ia makan dan berilah ia pakaian sebagaimana pakiaan yang ia pakai (sendiri)
serta janganlah membebani mereka dengan tugas-tugas yang terlalu berat, dan
jika kamu memberinya beban berat maka bantulah mereka.
Dari hadis itu dapat disimpulkan bahwa majikan dan karyawan seharusnya saling
menganggap saudara bukan tuan dan budak. Dengan menganggap saudara pastilah
sang majikan akan dermawan dalam membayar upah. Dalam hal paling mendasar,
seharusnya seorang bawahan dan majikan dapat memenuhi kebutuhan dasar yang
sama. Kebutuhan dasar itu adalah makanan, rumah, pakaian, biaya kesehatan, dan
pendidikan standar. Islam menjaga agar upah tidak di bawah standar minimal
untuk melindungi hak karyawan. Islam juga melindungi hak majikan dengan hasil
kerja profesional. Lalu berapa tingkat upah yang sebenarnya ? Nabi meletakkan
standarisasi upah yang wajar. Ketimpangan yang terlalu tinggi pada pemberian
upah bisa mengakibatkan perselosiahn sosial dan iklim kerja yang tidak nyaman.
Standar gaji adalah untuk yang terendah dapat memenuhi kebutuhan dasar akan
rumah, pakaian,makanan, pendidikan, dan kesehatan . Pada tahun pertama hijrah
upah bagi sahabat yang berjuang dalam perang badr dan Uhud yang terendah 200
dirham dan tertinggi 2.000 dirham atau dengan rasio 1:10 perbedaan antara yang
rendah dengan yang tinggi adalah hukum alam karena perbedaan keahlian, sifat
kerja, tanggung jawab, pengabdian dan lainnya. Namun ada satu hal yang tak
boleh dilanggar, rasio perbedaan gaji tertinggi dan terendah harus 1:10. Islam
tidak membenarkan sistem upah dengan kesenjangan terlalu tinggi.
Sekarang kita bandingkan tingkat upah di tempat kita. Seorang direktur bisa
memeperoleh gaji mencapai 200 juta per bulan. Sedangkan seorang office boy ,
satpam, atau pekerja kasar lainnya di perusahaan yang sama mungkin dibayar
hanya 700 ribu – 1 juta perbulan. Artinya rasionya telah berubah menjadi 1:200
atau 1:250. Nabi Muhammad SAW juga meletakkan dasar bagi para pejabat negara
saat itu. Seorang khalifah tidak memperoleh upah. Tapi mereka mendapat
tunjangan sebesar 2 dirham perhari. Namun Khalifah Abubakar menyumbangkan
tunjangannya untuk orang yang lebih membutuhkan. Ketentuan lain adalah seorang
pejabat tidak boleh menggunakan kuda turki (binatang kendaraan terbaik saat
itu). Pejabat tak boleh menggunakan pakaian yang tipis karena itu lambang
kemewahan, tak boleh makan dari tepung halus, tak boleh menempatkan penjaga di
muka rumah khawatir orang miskin tak bisa masuk untuk melaporkan kehidupannya.
Azzimi
0 komentar:
Posting Komentar